Oleh: Reza Putra Pratama, S.T. (GES Environmental Engineer)
A recent graduate of UPN (Universitas Pembangunan Nasional) “Veteran” Yogyakarta and currently working on PT. GES (Ganeca Environmental Services) Bandung as Junior Engineer. Has an interest in field work.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam baik itu mineral, bijih atau bahan galian, gas alam dan minyak. Dalam perkembangannya, berbagai macam teknik dan teknologi telah digunakan oleh manusia untuk dapat mengelola sumber daya alam tersebut semaksimal mungkin. Pertambangan batubara atau bijih lainnya di Indonesia umumnya dilakukan dengan sistem tambang terbuka (open pit mining). Penambangan dengan sistem ini berpotensi mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan. Karena luasnya lahan yang dibuka atau terganggu, adanya timbunan batuan overburden yang mengandung logam berat dan terbentuknya lahan yang bersifat marginal (sukar ditumbuhi oleh tanaman) serta air asam tambang (AAT).
Secara umum pengolahan air/lahan tercemar di area penambangan dapat dilakukan menggunakan 2 macam metode. Metode pertama adalah metode aktif, pada metode ini dilakukan dengan menambahan bahan kimia secara langsung ke kolam tambang atau lahan reklamasi dengan tujuan untuk mereduksi senyawa pencemar. Banyak pelaku industri penambangan yang memilih cara ini. Cara ini paling sering diadopsi di dunia pertambangan karena selain mudah didapat, bahan kimia juga tergolong sangat praktis dalam penggunaannya, yaitu dengan cara menaburkan bahan kimia tersebut ke media yang tercemar dengan dosis tertentu (lihat Gambar 1). Namun dalam penggunaannya, bahan kimia tersebut memerlukan jumlah yang sangat banyak (bergantung dari luasan area yang tercemar) sehingga berpotensi memberikan biaya yang cukup mahal bila dilakukan secara terus-menerus. Untuk media air yang tercemar selain biaya yang besar, penggunaan bahan kimia dapat mengakibatkan endapan berlebih pada settling pond.
Metode kedua adalah metode pasif, yaitu suatu metode penanggulangan masalah air/lahan tercemar dengan adanya bantuan dari proses bio-geokimia dari tumbuhan yang direkayasa sedemikian rupa sehingga dapat menangani permasalahan air/lahan tercemar secara kontinyu. Salah satu teknik yang terkenal dari metode ini adalah teknik Fitoremediasi. Fitoremediasi berasal dari Bahasa Yunani yaitu “phyton” yang berarti tumbuhan/tanaman dan “remediare” dari Bahasa Latin yang berarti memperbaiki/menyembuhkan/membersihkan sesuatu. Dengan kata lain Fitoremediasi adalah upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya untuk dekontaminasi limbah dan masalah-masalah pencemaran lingkungan baik secara ex-situ menggunakan kolam buatan atau reaktor maupun in-situ (langsung di lapangan) pada tanah atau daerah yang terkontaminasi limbah (Subroto, 1996).
Proses Fitoremediasi terbagi atas beberapa mekanisme dalam proses dekontaminasi limbah/pencemarnya yaitu :
Phytoextraction
Merupakan suatu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media yang tercemar sehingga terakumulasi disekitar akar tumbuhan atau tersalurkan ke bagian lain pada tumbuhan (daun dan batang), ilustrasi proses phytoextraction dapat dilihat pada Gambar 2. Beberapa tanaman disebut sebagai hyperaccumulators, yaitu tanaman yang dapat menyerap kandungan logam lebih banyak daripada tanaman lain pada umumnya. Di lapangan, setelah tanaman fitoremediasi tumbuh dan berkembang di media tercemar dan dirasa telah melakukan mekanisme phytoextraction, tanaman tersebut kemudian dicabut untuk dibakar menggunakan alat insenerator. Abu hasil pembakaran sebaiknya dipisahkan untuk dikemas kedalam golongan B3. Proses phytoextraction sangat baik digunakan untuk menangani media yang tercemar oleh limbah yang mengandung unsur Mn, Hg, Cu, Cr, Cd, Ni, Pb dan Zn.
Rhizofiltration
Merupakan suatu proses adsorpsi atau penjerapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar tersebut sehingga membentuk suatu lapisan tipis atau film pada permukaannya, ilustrasi proses rhizofiltration dapat dilihat pada Gambar 3. Bila dilihat secara sekilas, mekanisme rhizofiltration mirip dengan mekanisme phytoextraction namun perbedaanya, pada mekanisme rhizofiltration media yang tercemarnya adalah badan perairan. Di lapangan, aplikasi rhizofiltration dapat dilakukan langsung dengan cara menanam tanaman fitoremediasi di atas permukaan badan air tercemar, atau dengan cara air yang tercemar disalurkan ke sebuah media rumah kaca dimana tanaman fitoremediasi dapat tumbuh dengan optimal. Ketika akar tanaman dirasa sudah cukup menampung zat tercemar, tanaman fitoremediasi diambil kemudian dibakar dengan alat insenerator.
Phytostabilization
Merupakan suatu proses yang dilakukan oleh tanaman untuk mentransformasi polutan di dalam tanah menjadi senyawa yang non-toxic tanpa menyerap terlebih dahulu polutan tersebut ke dalam tubuh tanaman, ilustrasi proses phytostabilization dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil transformasi dari polutan tersebut tetap berada di dalam tanah atau lebih tepatnya tetap menempel pada akar tumbuhan. Zat-zat kontaminan akan menempel erat (stabil) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media tercemar. Di lapangan, mekanisme phytostabilization umumnya digunakan di area reklamasi, karena tumbuhan fitoremediasi berperan untuk mengoptimalkan tanah yang tercemar menjadi tanah yang siap ditanami oleh tanaman reklamasi. Terlebih sifat tanaman fitoremediasi pada mekanisme phytostabilization yang mampu mencegah kontaminan tertransport oleh proses erosi air permukaan memberikan nilai tambah pada mekanisme fitoremediasi ini.
Rhizodegradation
Merupakan suatu proses penguraian zat-zat kontaminan di sekitar akar tumbuhan oleh aktivitas mikroba yang bersimbiosis pada akar tumbuhan tersebut, ilustrasi proses rhizodegradation dapat dilihat pada Gambar 5. Proses rhizodegradation bekerja lebih lambat daripada proses phytodegradation karena dipengaruhi oleh kinerja dari mikroba yang bersimbiosis. Adapun mikroba (ragi, jamur dan bakteri) yang bersimbiosis ini akan mengkonsumsi dan menguraikan bahan organik seperti larutan bensin (BBM) atau larutan lain yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Simbiosis ini bersifat mutualisme (saling menguntungkan) karena tanaman pada umumnya mengeluarkan zat seperti gula, alkohol atau asam yang mengandung karbon organik, yang mana zat-zat tersebut merupakan sumber energi mikoroba untuk tumbuh dan berkembang.
Phytodegradation
Merupakan suatu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan bantuan enzim, ilustrasi proses phytodegradation dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil rombakan zat kontaminan tersebut tersusunan atas molekul yang lebih sederhana dan dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Adapun enzim yang bekerja pada proses ini diantaranya nitrodictase, laccase, dehalogenase dan nitrilase. Proses ini dapat berlangsung di seluruh bagian tumbuhan baik itu pada akar, batang, dan daun. Mekanisme phytodegradation sangat cocok diaplikasikan untuk menanggulangi pencemar dari herbisida dan pencemar klorin.
Phytovolatilization
Merupakan suatu proses yang bekerja dibagian atas dari tumbuhan (daun) melalui proses transpirasi. Pada mekanisme fitoremediasi lainnya, menyebutkan bahwa zat tercemar yang terserap oleh tanaman fitoremediasi akan dirombak oleh tanaman tersebut dan menghasilkan zat lain yang tidak berbahaya. Hasil rombakan tersebut akan tertranspirasi kemudian menguap ke atmosfer, ilustrasi proses phytovolatilization dapat dilihat pada Gambar 7.
Sebagai subyek utama pada proses fitoremediasi yaitu tanaman. Maka tidak semua tanaman dapat berperan sebagai tanaman fitoremediasi karena terdapat beberapa persyaratan khusus agar suatu tanaman kedalam tanaman fitoremediasi. Adapun syarat agar tanaman tergolong kedalam tanaman fitoremediasi adalah mampu tumbuh dengan cepat pada kondisi lingkungan yang toksik, mampu mengkonsumsi air pada jumlah yang banyak diwaktu yang singkat, mampu mendekontaminasi atau meremediasi lebih dari satu polutan dan memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap polutan. Agar lebih mudah dalam memahami jenis tumbuhan apa yang cocok dalam menangani berbagai macam zat pencemar, maka dapat dilihat pada Table 1.
Fitoremediasi memberikan manfaat yang nyata terhadap pengelolaan lingkungan, namun terdapat kelebihan dan kekurangan dari teknik ini. Karena menggunakan tanaman sebagai media utama dalam mereduksi senyawa polutan, maka teknik fitoremediasi memiliki biaya pengeluaran yang lebih murah bila dibandingkan dengan penggunaan bahan kimia. Terlebih bila perusahaan dapat melakukan pembudidayaan sendiri terhadap tanaman fitoremediasi yang mereka gunakan, tentunya akan sangat menekan biaya pengeluaran. Namun, perlu diperhatikan agar tanaman yang digunakan tidak terkonsumsi oleh binatang ternak atau predator lain karena tanaman tersebut bersifat toksik. Penambahan pagar disekitar wilayah fitoremediasi dapat memberikan solusi untuk menangani permasalahan tersebut. Teknik pengelolaan lingkungan ini diharapkan memberikan pemikiran baru kepada para pelaku usaha tambang dalam mengelola permasalahan lingkungannya.
Referensi
- Anonim. Newsletter and Technical Publications Freshwater Management Series No. 2. Phytoremediation: An Environmentally Sound Technology for Pollution Prevention, Control and Redmediation An Introductory Guide To Decision-Makers. (http://www.unep.or.jp/Ietc/Publications/Freshwater/FMS2/2.asp diakses pada tanggal 31 July 2018)..
- Subroto, M.A. 1996. Fitoremediasi. Dalam: Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremediasi Dalam Pengelolaan Lingkungan. Cibinong, 24-25 Juni 1996.
Disclaimer: You may use and re-use the information featured in this website (not including GES logos) without written permission in any format or medium under the Fair Use term. We encourage users to cite this website and author’s name when you use sources in this website as references. You can use citation APA citation format as standard citation format. Any enquiries regarding the use and re-use of this information resource should be sent to info@gesi.co.id