Menyikapi Baku Mutu TSS 100 mg/L di Industri Pertambangan - Ganeca Environmental Services

Menyikapi Baku Mutu TSS 100 mg/L di Industri Pertambangan

November 8, 2023

Pasca penerapan regulasi PermenLHK Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penerbitan Persetujuan Teknis Dan Surat Kelayakan Operasional Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, terdapat dua isu yang cukup signifikan menjadi diskusi di kalangan praktisi industri pertambangan batubara dan mineral. Adapun dua isu tersebut yakni:

  1. Kewajiban Pemantauan Sparing di semua titik penaatan;
  2. Pengetatan baku mutu air tambang, khususnya paramater Total Suspended Solid (TSS) menjadi maksimum 100 mg/L.

Kedua isu ini telah memunculkan perdebatan yang cukup ramai di sepanjang tahun 2023. Isu pertama telah dibahas dalam artikel GES pada 6 November 2023 yang melihat dua perspektif dan langkah yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Di artikel kali ini, kita akan membuka ruang diskusi untuk menyikapi kebijakan pengetatan baku mutu TSS menjadi maksimum 100 mg/L.

Perspektif Perencanaan Lingkungan, apakah sudah tepat?

PermenLHK Nomor 5 Tahun 2021 pada dasarnya memiliki konsep pengelolaan lingkungan yang sangat baik. Dalam sudut pandang pengelolaan sumber daya air, regulasi ini meminta perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk menempatkan kondisi badan air penerima sebagai pertimbangan penting dalam penetapan baku mutu. Dengan kata lain, penetapan baku mutu akan sangat bergantung pada kondisi karakteristik badan air penerima. Sayangnya, tidak semua sungai di Indonesia sudah dilakukan kajian secara komprehensif untuk menentukan kondisi sungai sehingga memiliki status atau kelas yang sesuai dengan kondisi natural dan/atau eksistingnya. Bagi sungai yang belum ada penetapannya, maka sungai tersebut dikategorikan sebagai Kelas 2 sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, walaupun secara natural (bisa saja), karena muatan sedimen di upstream, sungai tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai Kelas 2. Namun, karena regulasi, maka sungai tersebut dikategorikan sebagai Kelas 2. Hal ini tentu menjadi kendala dan tantangan yang cukup berat bagi beberapa industri, khususnya perusahaan tambang batubara dan mineral

Sayangnya, dalam implementasi PermenLHK Nomor 5 Tahun 2021, justru terlihat masing-masing perusahaan diminta memahami sungai dalam kacamata yang berbeda-beda. Setiap perusahaan, walaupun dalam daerah tangkapan sungai yang sama, dapat memiliki analisis yang berbeda-beda karena data yang digunakan berbeda dan cara pandang catchment dan kegiatan didalamnya pun berbeda. Pelaksanaan regulasi ini ternyata cukup dinamis. Regulasi yang memuat cukup banyak metodologi ilmiah ini justru mengundang perdebatan di kalangan pelaku usaha/kegiatan bahkan akademisi. Cukup banyak alasan yang menyebabkan hal ini terjadi, diantaranya:

  1. Tidak adanya basis data yang komprehensif untuk menggambarkan kondisi sungai eksisting. Data ini tidak tersedia secara lengkap dan terpusat serta open access yang dapat dimanfaatkan oleh praktisi maupun akademisi untuk menganalisis kondisi sungai dan berkontribusi memberikan masukan dalam upaya peningkatan mutu sungai.
  2. Tidak adanya penetapan sungai. Sejak regulasi lama yakni Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kita belum berhasil untuk melakukan kajian penetapan sungai-sungai di Indonesia, hanya segelintir yang sudah dilakukan. Mengapa ini penting? Karena kajian penetapan status mutu sungai dilakukan sebagai informasi penting untuk menggambarkan apa yang sebetulnya terjadi di daerah tangkapan sungai yang mempengaruhi kualitas atau mutu sungai. Selain itu, kajian tersebut penting sebagai dasar untuk merencanakan upaya-upaya yang dapat dilakukan secara komprehensif, bertahap dan sistematis untuk meningkatkan mutu sungai. Jika kajian dan rencana perbaikan ini ada, maka implementasi PermenLHK Nomor 5 Tahun 2021 akan mudah dan menarik bagi penggiat lingkungan. Kehadiran PP 22 tahun 2021, dirasa seperti mengulang kekurangan yang terjadi pada PP 82 tahun 2001.
  3. Gap pengetahuan antara perusahaan, pemerintah pusat dan daerah serta antar lembaga negara. Isu terkait dengan sumber daya manusia masih menjadi tantangan dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan. PermenLHK 5 Tahun 2021 memuat metodologi yang sangat ilmiah (apresiasi untuk pemerintah). Namun, perlu adanya pemahaman yang sama terkait dengan metode-metode ilmiah yang tertuang dalam regulasi tersebut. Sayangnya, kita memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Bahkan antar institusi, contohnya KLHK dan ESDM, memiliki pandangan yang berbeda terkait metode analisis hidrologi dan bagaimana menghitung kapasitas atau daya tampungan kolam sedimend pond. Perbedaan ini seringkali dirasakan ketika sesi presentasi persetujuan teknis dilakukan, dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan diantaranya perusahaan selaku pemrakarsa, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan reviewer yang merupakan praktisi atau akademisi yang bertugas untuk mengkritisi dokumen kajian teknis. Oleh karena itu, diskursus terkait dengan regulasi ini tidak boleh berhenti untuk terus dilakukan agar metode ilmiah ini dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman kita tentang pengelolaan lingkungan.

Perspektif Pemerintah sebagai Regulator

Dalam perspektif pemerintah, kebijakan ini menunjukkan semangat dan tekad yang kuat untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang sudah semakin mengkhawatirkan. Tentu, kita harus mengapresiasi dan mendukung tekad pemerintah tersebut. Perkembangan industri terus meningkat seiring dengan meningkatnya perekonomian bangsa Indonesia. Isu lingkungan telah menjadi global movement, yang memberikan tekanan kepada setiap pemerintah di semua negara untuk berbuat sesuatu demi keberlanjutan lingkungan di masa depan. Sejak 2023 ini, Pemerintah Indonesia, melalui KLHK telah “memaksa” perusahaan pertambangan batubara dan mineral untuk menerapkan baku mutu maksimum Total Suspended Solid 100 mg/L ketika melakukan kajian teknis untuk persetujuan teknis. Apapun kondisi sungai nya. Jika melihat sungai-sungai (utama) di Kalimantan yang didominasi tidak memenuhi baku mutu kelas nya, maka perusahaan pertambangan perlu melakukan penetapan baku mutu dengan maksimum 100 mg/L untuk TSS dan kompensasi. KLHK memiliki kajian tersendiri terkait penetapan 100 mg/L. Kondisi sungai-sungai yang semakin mengkhawatirkan memerlukan langkah-langkah perbaikan sehingga diharapkan sungai tersebut dapat pulih di masa depan. Di Kalimantan, pengetatan baku mutu ini tampaknya juga didasari karena adanya pengembangan Ibu Kota Nusantara yang mengusung Green & Smart City. KLHK juga telah melakukan kajian terhadap baku mutu TSS di berbagai negara, salahnya US EPA yang memiliki baku mutu TSS sebesar 75 mg/L. Selain itu, menurut KLHK, data-data sparing maupun dari laporan pemantauan SIMPEL menunjukkan performa TSS di efluen yang sangat baik, kurang dari 50 mg/L. Inilah yang tampaknya menjadi dasar dan tekad KLHK menurunkan baku mutu maksimum TSS menjadi 100 mg/L.

Perspektif Perusahaan Pertambangan Batubara dan Mineral

Mungkin, hampir semua perusahaan pertambangan batubara dan mineral kaget dengan kebijakan verbal yang dikeluarkan oleh KLHK terkait baku mutu TSS 100 mg/L ketika melakukan kajian teknis untuk persetujuan teknis. Terlihat, ada kekhawatiran yang dirasakan oleh perusahaan pertambangan di Indonesia ketika mendapatkan “tekanan” baku mutu baru yang sangat ketat ini. Pada dasarnya, perusahaan pertambangan memiliki komitmen yang sangat tinggi untuk memenuhi baku mutu lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari investasi yang sudah dikeluarkan dan performa ketika kondisi normal.  Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan kekhawatiran terkait isu ini:

  1. Perusahaan pertambangan cenderung khawatir dengan kebijakan karena karakteristik air tambang yang sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrologi. Di Indonesia, curah hujan rata-rata tahunan dapat mencapai 3.000 mm/tahun, bandingkan dengan dengan negara eropa yang hanya 500-1000 mm/tahun. Secara rata-rata mungkin perusahaan tambang dapat dengan mudah memastikan efluen air tambang memenuhi baku mutu lingkungan. Namun, ketika curah hujan tinggi, terutama ketika melampaui hujan periode ulang disain, maka potensi terlampaui nya baku mutu sangat mungkin terjadi.
  2. Asumsi Dasar Perencanaan. Ketika melakukan perencanaan fasilitas pengolahan air tambang, perusahaan-perusahaan menggunakan berbagai asumsi perencanaan. Karena air tambang sangat dipengaruhi oleh hujan, maka perencanaan sedimend pond dilakukan dengan perhitungan hidrologi yang cukup banyak pendekatan asumsi yang digunakan sehingga memberikan potensi resiko. Salah satu contohnya yakni periode ulang. Perusahaan-perusahaan pertambangan memiliki pertimbangan tersendiri ketika menentukan periode ulang yang digunakan dalam perencanaan sedimend pond, diantaranya 5 tahun, 25 tahun, 50 tahun, bahkan ada yang menggunakan 100 tahun. Pemilihan periode ulang sangat erat kaitannya dengan resiko yang berani dihadapi perusahaan. Tentu, periode kala ulang 100 tahun memiliki resiko yang rendah terhadap bangunan air yang dibangun, tetapi periode ulang 100 tahun ini memiliki konsekuensi bangunan air yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan periode ulang yang lebih kecil. Selain aspek hidrologi, perencanaan sedimend pond juga belum memiliki kriteria disain yang didasarkan pada karakteristik air tambang. Di indonesia, hanya sedikit perusahaan yang melakukan karakterisasi air tambang untuk perencanaan sedimend pond. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan karakteristik yakni kualitas air tambang (fisika dan kimia), kecepatan pengendapan suspended solid, fluktuasi debit, dan lain-lain.
  3. Ketersediaan Lahan. Perusahaan pertambangan memiliki area perencanaan berupa batas Izin Usaha Pertambangan (IUP). Batas ini dibuat berdasarkan kondisi sumber daya batubara dan mineral di bawah tanah. Seringkali, hal ini membuat lokasi dan ukuran sedimend pond yang harus dibuat menjadi terbatas. Isu ini akan semakin ramai lagi jika dikaitkan dengan batas IUP yang berbatasan langsung dengan IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) yang membutuhkan perizinan lainnya.

Apa yang bisa kita lakukan?

Kita tidak dapat melihat sebuah masalah hanya dari satu perspektif. Isu ini muncul karena cukup banyak “pekerjaan rumah” yang harus dilakukan, baik pemerintah daerah, pemerintah pusat, perusahaan pertambangan dan mineral, asosiasi-asosiasi, hingga akademisi. Beberapa hal yang dapat dilakukan yakni:

  1. Agar regulasi PermenLHK 5 Tahun 2021 dapat berjalan dengan optimal, penting bagi kita, dalam hal ini pemerintah Indonesia, untuk melakukan dan memiliki kajian lengkap terkait dengan kondisi semua sungai di Indonesia. Tidak hanya sebatas kondisi sungai saja, namun kita perlu menyusun rencana jangka pendek dan panjang terhadap upaya peningkatan sungai-sungai tersebut. Sehingga rencana Total Maximum Daily Load (TMDL) setiap sungai secara bertahap dapat menjadi acuan dalam peningkatan kualitas sungai. Hal ini penting dilakukan agar aktivitas ekonomi dari operasional industri, khususnya pertambangan, tidak kaget dan terganggu dengan kebijakan yang berubah-ubah. Ada visi misi yang jelas tentang semangat kita bersama untuk memulihkan sumber daya air kita. Harapannya dokumen ini akan menjadi acuan bersama bagi para pemangku kepentingan (stakehoders). Jika punya acuan, maka kita dapat dengan mudah melakukan evaluasi capaian yang dapat menjadi dasar dalam penetuan kebijakan di masa depan.
  2. Saat ini, penerapan baku mutu 100 mg/L tidak memiliki acuan regulasi yang tertulis yang dapat dipegang oleh pelaku usaha/kegiatan khususnya pertambangan batubara dan mineral. Pemerintah harus segera mengeluarkan acuan baku mutu yang jelas (jika ingin diterapkan) sehingga perusahaan pertambangan batubara dan mineral dapat dengan mudah dan memiliki kepastian dalam pelaksanaannya.
  3. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementrian ESDM dan KLHK perlu menyusun panduan atau pedoman yang dapat memberikan wawasan kepada pelaku usaha/kegiatan dalam merencanakan fasilitas pengolahan air tambang. Ini dapat menjadi literatur penting. Panduan tersebut diharapkan dapat mendeskripsikan tahapan-tahapan yang dapat diikuti oleh perencana, termasuk data apa saja yang harus dimiliki. Selain itu, dokumen tersebut diharapkan dapat memuat alternatif teknologi yang dapat digunakan dalam pengolahan air tambang. Saat ini, kita belum memiliki secara khusus dokumen yang memuat alternatif atau opsi-opsi teknologi pengolahan air tambang secara komprehensif.
  4. Perusahaan tambang penting untuk dapat secara terbuka menyampaikan data-data yang menggambarkan tantangan pengelolaan air tambang. Data tersebut diharapkan dapat menjadi dasar dalam penentuan opsi-opsi pengolahan air tambang. Setiap lokasi pertambangan memiliki tantangan yang berbeda-beda dengan karakteristik morfologi, geologi dan disain penambangannnya. Jika tidak ada data-data tersebut, rasanya sulit kita dapat mengembangkan opsi-opsi teknologi pengolahan, dan dari sisi pemerintah akan sulit untuk membantu sebagai dasar dalam penentuan kebijakan di masa depan.
  5. Perusahaan pertambangan harus dapat menerapkan kaidah penambangan yang baik. Salah satu tahapan yang penting adalah memahami karakteristik air tambang yang meliputi kuantitas (fluktuasi) dan kualitas (fisika, kimia dan karakteristik solid didalam air tambang yang akan mempengaruhi kecepatan pengendapan dalam perencanaan sedimend pond). Perusahaan perlu melakukan kajian khusus terkait karakteristik tersebut sehinga dapat menjadi pertimbangan utama dalam melakukan perencanaan fasilitas pengolahan air tambang.

Ditulis oleh:

Dr. Ir. Muhammad Sonny Abfertiawan

Let's Shape The Future Together

Raih kemungkinan tak terbatas.

Chat WhatsApp
1
Need Help?
If you have any questions about the services we provide do not hesitate to contact us. We try and respond to all queries and comments within 24 hours.